Jumat, 24 Juni 2011

Remaja Mandiri

MEMPEROLEH kebebasan (mandiri) merupakan suatu tugas bagi remaja. Dengan kemandirian tersebut berarti remaja harus belajar dan berlatih dalam membuat rencana, memilih alternatif, membuat keputusan, bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya. Dengan demikian remaja akan berangsur-angsur melepaskan diri dari ketergantungan pada orangtua atau orang dewasa lainnya dalam banyak hal.

Pendapat ini diperkuat oleh pendapat para ahli perkembangan yang menyatakan, "Berbeda dengan kemandirian pada masa anak-anak yang lebih bersifat motorik, seperti berusaha makan sendiri, mandi dan berpakaian sendiri, pada masa remaja kemandirian tersebut lebih bersifat psikologis, seperti membuat keputusan sendiri dan kebebasan berperilaku sesuai dengan keinginannya".

Dalam pencarian identitas diri, remaja cenderung melepaskan diri sendiri sedikit demi sedikit dari ikatan psikis orangtuanya. Remaja mendambakan untuk diperlakukan dan dihargai sebagai orang dewasa. Hal ini dikemukan Erikson (1992) yang menamakan proses tersebut sebagai "proses mencari identitas ego", atau pencarian diri sendiri. Dalam proses ini remaja ingin mengetahui peranan dan kedudukannya dalam lingkungan, disamping ingin tahu tentang dirinya sendiri.

Kemandirian seorang remaja diperkuat melalui proses sosialisasi yang terjadi antara remaja dan teman sebaya. Hurlock (1991) mengatakan bahwa melalui hubungan dengan teman sebaya, remaja belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, menerima (bahkan dapat juga menolak) pandangan dan nilai yang berasal dari keluarga dan mempelajari pola perilaku yang diterima di dalam kelompoknya. Kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial pertama dimana remaja belajar untuk hidup bersama dengan orang lain yang bukan anggota keluarganya. Ini dilakukan remaja dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok teman sebayanya sehingga tercipta rasa aman. Penerimaan dari kelompok teman sebaya ini merupakan hal yang sangat penting, karena remaja membutuhkan adanya penerimaan dan keyakinan untuk dapat diterima oleh kelompoknya.

Dalam mencapai keinginannya untuk mandiri, seringkali remaja mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan masih adanya kebutuhan untuk tetap tergantung pada orang lain. Dalam contoh yang disebutkan diatas, remaja mengalami dilema yang sangat besar antara mengikuti kehendak orangtua atau mengikuti keinginannya sendiri. Jika ia mengikuti kehendak orangtua, maka dari segi ekonomi (biaya sekolah) remaja akan terjamin karena orangtua pasti akan membantu sepenuhnya. Sebaliknya, jika ia tidak mengikuti kemauan orangtua, bisa jadi orangtuanya tidak mau membiayai sekolahnya. Situasi yang demikian ini sering dikenal sebagai keadaan yang ambivalensi dan dalam hal ini akan menimbulkan konflik pada diri sendiri remaja. Konflik ini akan mempengaruhi remaja dalam usahanya untuk mandiri, sehingga sering menimbulkan hambatan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya.

***

Kemandirian pada anak berawal dari keluarga serta dipengaruhi pola asuh orangtua. Dalam keluarga, orangtualah yang berperan dalam mengasuh, membimbing dan membantu mengarahkan anak untuk jadi mandiri. Mengingat masa anak-anak dan remaja merupakan masa yang penting dalam proses perkembangan kemandirian, maka pemahaman dan kesempatan yang diberikan orangtua kepada anak-anaknya dalam meningkatkan kemandirian amatlah krusial. Meski dunia pendidikan (sekolah) juga turut berperan dalam memberikan kesempatan kepada anak untuk mandiri, keluarga tetap merupakan pilar utama dan pertama dalam membentuk anak untuk mandiri.

Bagaimana orangtua harus bertindak dalam menyikapi tuntutan kemandirian seorang remaja, ada beberapa petunjuk sbb.;

* Komunikasi -- Berkomunikasi dengan anak merupakan suatu cara yang paling efektif untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Tentu saja komunikasi disini harus bersifat dua arah, artinya kedua belah pihak harus mau saling mendengarkan pandangan satu dengan yang lain. Dengan melakukan komunikasi, orangtua dapat mengetahui pandangan-pandangan dan kerangka berpikir anaknya, begitu pula sebaliknya. Komunikasi tak berarti harus dilakukan secara formal, tetapi bisa saja dilakukan sambil makan bersama atau selagi berlibur sekeluarga.

* Kesempatan -- Orangtua sebaiknya memberikan kesempatan kepada anak remajanya untuk membuktikan atau melaksanakan keputusan yang telah diambil. Biarkan remaja itu mengusahakan sendiri apa yang diperlukannya dan biarkan juga ia mengatasi sendiri berbagai masalah yang muncul. Orangtua hanya bertindak sebagai pengamat dan hanya boleh melakukan intervensi jika tindakan sang remaja dianggap dapat membahayakan dirinya dan orang lain.

* Tanggungjawab -- Bertanggungjawab terhadap segala tindakan yang diperbuat merupakan kunci untuk menuju kemandirian. Dengan berani bertanggungjawab, remaja akan belajar untuk tidak mengulangi hal-hal yang memberikan dampak-dampak negatif (tidak menyenangkan) bagi dirinya. Dalam banyak kasus, masih banyak orangtua yang tidak menyadari hal ini. Sebagai contoh, dalam kasus remaja yang ditahan oleh pihak berwajib karena terlibat tawuran, tidak jarang dijumpai justru orangtualah yang berjuang keras dengan segala cara untuk membebaskan anaknya dari tahanan, sehingga anak tak pernah memperoleh kesempatan untuk bertanggungjawab atas perilaku yang diperbuatnya. Pada kondisi begitu, remaja tentu saja tidak takut untuk berbuat salah, sebab ia tahu orangtuanya pasti akan menebus kesalahannya.

* Konsistensi -- Konsistensi orangtua dalam menerapkan disiplin dan menanamkan nilai-nilai kepada remaja dan sejak masa kanak-kanak di dalam keluarga akan menjadi panutan bagi remaja untuk dapat mengembangkan kemandirian dan berpikir secara dewasa. Orangtua yang konsisten akan memudahkan remaja dalam membuat rencana hidupnya sendiri dan dapat memilih berbagai alternatif karena segala sesuatu sudah dapat diramalkan olehnya. (*/tin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar